Langit semakin memerah di ufuk barat, menyajikan senja yang indah ketika surya melambaikan tangannya padaku “ hello good bye Mira”. Sedang ...
Aaaght… apakah laut dan juga elang itu turut membenci dan mengutukku. Tuhan, mengapa ini semua harus terjadi padaku. Mengapa hidupku harus berbanding terbalik 180 derajat dari sebelumnya. Mereka yang dulunya menjadi teman kini malah menjadi lawan. Mencelaku begitu saja, tanpa memandang siapa aku yang dulu. Seribu kebaikanku hilang di mata mereka dengan satu kesalahan orang tuaku. Aku tidak melakukan apa pun Tuhan, hanya terlahir dari orang tua bergelar koruptor.
Kini langit pun seolah tak bersahabat. Seakan runtuh dan puing-puingnya menancap ketubuhku. Sangat sulit untukku menyeret kedua kaki ini tuk melangkah ke depan. Dalam diamku pun, jeritan anak manusia yang kelaparan sangat jelas terdengar, dan hak mereka ikut kucicipi di meja makan yang dihidangkan untukku. Baju seragam sekolah yang kini kukenakan mungkin juga dari kumpulan recehan mereka. Sedang anak rakyat pembayar pajak itu, ah.. apakah mereka bersekolah?
Kasus korupsi dan perbuatan melawan hukum lainnya atas penyaluran dana bantuan alam seharusnya diancam dengan hukuman mati. Tapi hal itu tidak berlaku bagi ayahku. Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ku search dari internet tidak sesuai dengan hukuman yang didapatkan oleh ayah yang dulunya kubanggakan itu. Ayah yang sempat mengajariku untuk terus menyibak arti kalam-kalam suci sebelum beliau mendapatkan kursi kekuasaannya.
Kisruh dalam istana yang kubanggakan pun semakin sering terdengar. Angin di dalamnya semakin bertiup kencang. Semenjak ayah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, ibu kini disibukkan dengan kehadiran tamu-tamu yang tidak kukenali. Tapi wajah hakim yang membacakan vonis untuk ayah 18 Maret itu masih kuingat betul. Ya, dia yang ibu janjikan sebuah vila termewah di kota ternama ini.
Aku semakin tak mempercayai hukum di negeri nan subur ini. Atau aku yang seharusnya bersyukur dan menertawakan aturan yang telah ditetapkan. Ayah hanya tervonis beberapa tahun penjara saja dengan berbagai kasus yang melilitnya. Apa yang harus aku lakukan, haruskah bersyukur karena ayah tidak perlu berlama-lama mendekam di jeruji besi, toh pencuri terhormat di negeri ini masih dihormati.
Senja, aku tak ingin memunafikkan diriku sendiri. Sungguh keadaan yang terkekang ini membuatku terhimpit pada roda kehidupan yang mengapit. Sejam yang lalu sahabatku mengembalikan sekotak kado yang ku hadiahkan untuknya dari Paris, hach. Aku tau alasannya seburuk itukah kehidupanku. Senja, biarkan kornea ini memandangmu walau bulir-bulir air mata itu masih membasahi pipi. Dan jika Tuhan mengizinkan, aku hanya ingin beradu pandang denganmu untuk terakhir kalinya.
26 April 2013
Oleh : Suhaina
Siswa Serak dan Mahasiswi Universitas Al Muslim